Tuesday, March 6, 2012

Terminal Daya ... Riwayatmu Dulu dan Kini

Terminal Daya
Sumber: http://fajar.co.id
Tahun ini pemerintah kota hendak mengaplikasikan terminal Daya secara maksimal. Terminal yang seharusnya ramai ini ternyata sepi, tidak seperti seharusnya sebuah terminal antarkota. Terminal-terminal bayangan yang konon menghalangi fungsi terminal itu dituding menjadi salah satu penyebabnya. Namun apakah sebenarnya yang menjadi penyebab adanya terminal-terminal bayangan itu? Sepertinya pemerintah tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu. Yang jelas hal yang paling utama bagi pengguna terminal yaitu kenyamanan, terabaikan!



Sudah hal biasa bagi saya semenjak kecil, jika hendak ke kampung bapak di kota Watansoppeng (± 180 kilometer dari Makassar), ibukota kabupaten Soppeng menggunakan mobil antarkota melalui terminal antarkota. Kami tak memiliki kendaraan beroda empat maka mau tak mau cara ini adalah cara terindah yang bisa kami gunakan.

Saat terminal antarkota masih di Panaikang, hal itu masih cara terindah untuk bepergian ke daerah yang berada bagian utara kota Makassar. Namun sejak terminal itu dipindahkan ke Daya, ini merupakan takdir yang amat sangat tidak nyaman sekali (saking tak nyamannya).


Masih nyata dalam ingatan saya, ketika itu anak kami baru Affiq seorang. Mengunjungi ibu mertua di Pare Pare (150 kilometer dari Makassar) adalah sebuah kegiatan yang cukup sering kami lakukan. Untuk itu kami harus ke terminal Daya dulu. Di sana baru menyewa mobil angkutan antarkota.

Bagaimana dengan taksi? Bisa saja, tapi ukuran kantong kami tak memadai untuk itu. Ongkos taksi dari rumah ke terminal Daya jauh lebih besar dibandingkan ongkos mobil dari terminal Daya ke Pare Pare (untuk satu orang). Supaya nyaman di dalam mobil, kami menyewa tempat untuk 3 atau 4 orang.

Bayangkan saja kalau mobil Panther atau Kijang, sekali berangkat memuat hingga 4 – 5 orang dalam satu deret  plus aneka barang di bawah kaki. Amat tidak nyaman kan untuk kami yang membawa seorang anak yang sedang aktif-aktifnya plus segerbong barang. Belum lagi kondisi saya yang gampang dilanda mabuk perjalanan. Itu semua membuat kami membutuhkan ruang lebih luas di perjalanan.

Sumber:
http://cartoonroom.com
Dengan membawa aneka ‘peralatan perang’ selain koper berisi pakaian seperti boks Affiq  berukuran luas sekitar 70 x 120 cm2  dan stroller  kami harus gonta-ganti angkot menuju terminal Daya (sekitar 14 kilometer dari rumah). Mulanya naik becak dulu ke jalan A.P. Pettarani. Dari situ naik angkot nomor 07 jurusan kampus UNHAS. Kemudian kami turun di jalan Perintis Kemerdekaan, ganti angkot yang menuju Daya.

Sampai di terminal Daya, rupanya angkot tidak boleh masuk ke dalam terminal. Kami turun di luar pagar (waktu itu angkot tak boleh masuk, sebulan setelahnya baru angkot diperbolehkan masuk hingga tempat parkir, itu pun setelah menuai protes dari sopir-sopir angkot). Belum apa-apa kami sudah diserbu oleh calo penumpang dan buruh yang tiba-tiba mengangkat barang tanpa persetujuan. Mereka sangat ‘bernafsu’ sehingga saya merasakan mereka memaksa, bukan membujuk kami untuk menggunakan jasa mereka. Melihat kondisi ini tentu saja saya panik, di terminal yang dahulu tak begini situasinya.

Suami saya memilih mengangkat barang-barang sebanyak itu sendiri ke pelataran yang jaraknya 100 meter. Sebelumnya kami harus membayar pajak dulu di loket yang disediakan, baru setelah itu masuk ke dalam terminal.

Masuk ke dalam, suasana masih tak nyaman. Kalau di terminal lama semua kendaraan tertata rapi dalam beberapa pelataran. Di terminal Daya dibagi per area. Kalau di terminal lama, penumpang nyaman menempati tempat duduk di setiap pelataran saat menunggu waktu berangkat, di terminal Daya tak demikian (mungkin saja ada tempat duduk, tapi itu tak ada dekat area kami).

Kami menenteng aneka barang menuju mobil-mobil berplat kuning di area terbuka untuk tujuan Pare Pare, dekat situ ada pula mobil-mobil tujuan Pinrang. Seperti yang sudah saya tuliskan tadi, saya tekankan lagi: tak ada tempat duduk di situ jadi kami hanya bisa berdiri di dekat mobil yang sudah kami sewa joknya, ditemani dengan hawa panas kota Makassar sekaligus hawa panas dan asap knalpot dari mobil-mobil di area itu untuk menunggu waktu keberangkatan yang entah berapa lama lagi. Sungguh suasana yang ‘nikmat’.

Sumber:
http://dreamstime.com
Karena kebelet pipis, saya ditemani suami dan Affiq pergi ke WC yang letaknya puluhan meter dari situ. Sekembalinya dari WC, saya panik lagi karena mobil yang tadi sudah tak ada di tempatnya. Haduh, bagaimana ini? Jangan-jangan kami ditinggal?

Setelah mencari-cari, akhirnya mobil itu terlihat. Rupanya ia berpindah tempat parkir sejauh 50 meter dari tempat semula. Masih di area itu, masih dengan ketidaknyamanan yang sama pula. Kami pun menunggu lagi sekian menit di situ hingga mobil meninggalkan terminal (saya selalu penasaran: siapa sih yang mendisain terminal Daya menjadi tempat yang amat sangat tak nyaman sekali ini?).

Hal ini tidak berlangsung sekali ini saja, melainkan beberapa kali pula setelahnya. Namun setelah itu kami memilih menggunakan cara lain yang jauh lebih nyaman. Yaitu melalui biro travel. Lebih nyaman. Tidak perlu lagi mengalami hal-hal seperti di atas.

Itu keadaan bertahun silam. Lalu bagaimana keadaan baru-baru ini? Sama saja. Terakhir suami saya mengantarkan kerabatnya ke terminal Daya beberapa bulan yang lalu, ketidaknyamanan itu masih saja terasa.

***

Seorang kerabat yang berdomisili di Luwu juga mengalami ketaknyamanan di terminal Daya. Saat terakhir kali naik bis beberapa bulan yang lalu, ia dan keluarga kecilnya masih bisa naik di ‘kantor perwakilan’ bis (masih dekat pusat kota). Namun kali ini berbeda. Jika dahulu mereka langsung berangkat ke tujuan, kali ini mereka harus turun di terminal Daya.

Shelter bis di terminal Daya
Sumber: http://jotravelguide.com

Tanpa diberitahu sebelumnya, di terminal mereka diturunkan di pekarangan, hanya barang yang masuk ke dalam ikut dengan bis. Itu karena mereka harus membayar ‘pajak’ di sebuah loket di luar. Setelah itu mereka berjalan kaki masuk ke dalam dan mengubek-ubek terminal mencari di mana gerangan sang bis berada. Berhubung ini pengalaman pertama setelah sekian tahun, itu bukan pengalaman yang menyenangkan. Dan rupa-rupanya mulai tahun ini tak bisa lagi mereka naik bis dari kantor perwakilan. Mereka harus melalui terminal Daya.

Ada lagi cerita kawannya yang dari Sorowako menuju Makassar. Tanpa pemberitahuan terlebih dulu, mereka dionggok diturunkan di pekarangan terminal, lengkap dengan barang-barang yang dibawa. Tiba-tiba saja barang-barangnya ditarik-tarik oleh lelaki-lelaki kekar tak dikenal sekaligus tak diharapkan. Untung saja ia orang Makassar, meskipun kaget ia berusaha mengantisipasi keadaan mengejutkan itu dengan baik. Namun setelah itu ia kelimpungan, dengan barang banyak bagaimana pula caranya memanggil taksi yang hanya boleh berada di luar pagar terminal?

Bagaimana kalau itu terjadi pada turis? Apa kata dunia? Apa kira-kira mereka akan mengatakan: “Pelayanan di terminal Daya sungguh mengagumkan?” (coba deh dipikir sendiri para paduka yang mulia yang bertanggug jawab atas hal ini!)

So, kesimpulannya:
Di terminal Panaikang (terminal lama) hanya ada 4 pelataran, tidak begitu luas tetapi rapi dan nyaman.
Di terminal Daya, jauh lebih luas, tetapi di situ semrawut dan amat sangat tidak nyaman sekali! (Please jangan katakan sedang diusahakan ya karena setelah delapan tahun masak masih tak nyaman?)
Belum ada tindak serius dari yang berwenang dalam mengusahakan kenyamanan bagi penumpang di terminal Daya (kenyamanan hanya milik satu pihak, dan itu bukan milik penumpang!).

Terminal Daya
Sumber: http://makassar.tribunnews.com

Dengan semua ketaknyamanan itu, saya nyaris yakin bahwa penentu kebijakan plus perancang terminal Daya adalah orang-orang yang (nyaris) tak pernah merasakan suka-duka naik angkutan antarkota. Saya jadi ingin memberikan tantangan ini, bagaimana kalau Anda mencoba merasakan seperti yang kami rasakan: dari rumah Anda harus naik angkot (boleh juga naik taksi, tapi kalau mau merasakan yang dirasakan ‘akar rumput’ supaya kebijaksanaan nurani dan benak Anda lebih teruji, coba naik angkot dulu) ke terminal kemudian menyewa tempat di angkutan antarkota di terminal menuju sebuah kabupaten di mana saja – semakin jauh semakin baik.

Dan jangan hanya mencobanya sekali seumur hidup. Minimal Anda mencobanya dua kali dalam setahun. Coba lakukan itu selama tiga tahun berturut-turut lalu simpulkan, apa yang Anda rasakan dan pikirkan? Oya, satu lagi, bertindaklah seperti khalifah Umar yang berkeliling wilayah yang dipimpinnya tanpa membuka identitas dirinya guna merasakan penderitaan rakyatnya.

Terakhir, saya menyayangkan sekali mengapa model terminal lama tak dipindahkan saja ke terminal baru? Seandainya modelnya persis sama, meskipun jauh tak mengapa karena poin pentingnya di sini adalah kenyamanan. Sebagai warga negara, kami harus menerima kenyataan bahwa dengan perkembangan sekarang terminal memang harus bertambah jauh dari pusat kota (pengandaian tak ada guna L). Tetapi sekali lagi, tolong dong kenyamanan kami diutamakan!

Makassar, 6 Maret 2012

Silakan juga dibaca yang lain yaa ... :

No comments:

Post a Comment