Wednesday, March 28, 2012

Lampu yang Aneh

Siang tadi ke mal Panakukang, seperti biasa berboncengan dengan suami dan Athifah yang tak mau ketinggalan. Ada yang hendak saya cari dan adanya di sana. Entah sudah berapa lama saya tak ke sana. Sepertinya sudah lebih setahun, yah ... mal memang bukan tempat yang bisa membuat saya bolak-balik mendatanginya J. Terakhir ke sana, masih ada petugas di pintu masuk yang mengetikkan nomor plat motor kami. Sekarang tidak lagi, sudah otomatis. Tinggal ambil karcis yang sudah bertuliskan plat nomor motor.

Dasar katrok ya, tiket parkir otomatis saja difoto ahahaha
Syukurlah, barang yang saya cari ada, murah pula. Tak salah saya mencarinya di situ. Usai mendapatkannya, kami pun pulang. Cuaca hari ini bersahabat, bagi kami dan para demonstran yang katanya sedang memperjuangkan agar BBM tak jadi naik (katanya sih memperjuangkan tapi koq kenapa banyak menyusahkan warga?). Siang ini tak hujan. Tiba di persimpangan jalan Boulevard – Pettarani, suami saya menghitung, “Satu ... dua ... tiga.”

Sesaat saya bingung. Apa yang dihitungnya?
“Empat ... lima ... enam,” lanjutnya.
Aih, saya paham. Ia menghitung berapa lama lampu hijau di deretan rambu lalu-lintas di sudut itu menyala. Sebelumnya suami saya mengatakan, “Lampu jalan di sini cepat sekali hijaunya.”

“Tujuh ... delapan ... sembilan ... sepuluh.”
Pas di hitungan ke sepuluh, lampu jalan itu berubah merah.
Hm, kali ini saya terpancing rasa penasaran hendak mengetahui berapa detik lampu merahnya menyala.

Lampu merah di persimpangan Pettarani - Boulevard
Lihat, lampu merah itu tertawa!
Mobil yang melintas di seberang hanya satu-dua
pas lampu merah
Saya pun mulai menghitung pelan, “Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima.”
Pengendara motor dan mobil sudah mulai banyak di sekitar kami, menunggu.
Hitungan saya lewat sepuluh. Warna merah masih bertengger di situ.
Saya terus menghitung.

“Tiga puluh ... tiga puluh satu ... tiga puluh dua ... tiga puluh tiga.”
Warna merah masih tersenyum di sana.

“Empat puluh satu ... empat puluh dua ... empat puluh tiga ...”
Kini ia tertawa, bukan hanya tersenyum.
Ck ck ck ... betul, lama sekali!

“Lima puluh tiga ... lima puluh empat ... lima puluh lima.”
Hah, baru ia mau berlalu.
Astaga, lama sekali.
10 detik banding 55 detik?

“Jadi ingat iklan televisi. Kalau iklan lamanya minta ampun. Pas masuk acaranya, belum apa-apa sudah pindah iklan lagi,” kata saya pada suami.

“Kenapa tidak sekalian dipasangi iklan ya,” kata saya ngawur.

“Tunggu saja, bisa jadi suatu saat nanti ada iklan di situ,” sahut suami saya.

Tahukah kawan, aturan logis mengenai lamanya lampu jalan ini pantas mengatur kita? Bagaimana pula jika kita dipaksa nonton iklan sembari menunggu lampu merah tertawa?


Makassar, 29 Maret 2012

Bisa dibaca juga tulisan yang lain ya kawan ...

No comments:

Post a Comment